Pada saat chating dengan seorang teman, aku di tanya apakah yang membuatmu resah?. Aku sendiri tidak tahu, apa yang menjadi keresahanku. Atau lebih tepatnya aku tidak tahu apa perasaan ku saat itu. Resah, gelisah, atau marah. Terlalu banyak permasalahan dalam hidup dan kehidupanku yang aku sendiri tidak tahu harus menyikapinya bagaimana.
Haruskah aku resah, karena barang kebutuhan yang terus melonjak menjelang lebaran ini? Bukankah harga barang berkorelasi dengan penawaran dan permintaan? Ketika permintaan barang naik pada saat Ramadhan dan lebaran, adalah wajar harga ikut terangkat karena suplai barang kebutuhan relatif tetap. Semua produsen berlomba memperkosa masyarakat dengan iklannya yang hadir dalam berbagai bentuk untuk mempengaruhi minat belanja. Tak tahukah mereka bahwa apa yang dilakukannya itu tak lebih dari sekedar menjual Ramadhan yang Suci. Sementara itu, anak-anak tahunya harus pakai baju baru saat lebaran tiba....
Atau karena maraknya perampokan yang semakin berani di negeri ini? Tidak, aku tidak punya apa-apa untuk dirampok. Hidupku saja masih jauh dari dikatakan cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar sebagai manusia. Mungkin ini hanyalah peringatan Tuhan bagi orang-orang kaya yang tidak melaksanakan hak dan kewajibannya sebagai orang kaya. Sementara di pihak lain, ada sebagian orang yang sudah tidak bisa menunggu jawaban atas do’anya agar bisa bangkit dari kemiskinan. Bisa juga ini bukti tak terbantahkan bahwa sistem keamanan di Republik ini masih lemah. Aparat keamanannya masih sibuk saling sikut untuk memperkaya diri sendiri... sehingga ketika terkuak rekening liarnya yang membludak besar, malah sibuk saling menuding dan menyelamatkan diri.
Haruskah aku marah kepada Wakil Rakyat yang telah terpilih setahun yang lalu, tapi belum bisa berbuat apa-apa selain menghabiskan anggaran dan tidur di saat sidang? Padahal, hampir 70% lebih Anggota Dewan yang sekarang adalah orang-orang baru, namun mereka tidak mampu membawa perubahan yang signifikan dalam tubuh anggota Dewan.
Atau haruskah aku marah karena ketidak tegasan pemerintah kita terhadap Malaysia yang telah dengan seenaknya menjarah isi peraiaran negara kita, mengakui budaya kita, dan menyiksa para TKI kita? Entah apa pertimbangan pemerintah kita sampai seolah tidak terjadi apa-apa, meski demo Ganyang Malaysia terjadi dimana-mana di muka bumi Indonesia Raya Tercinta ini.
Haruskah aku tertawa melihat aturan tentang larangan menerima parcel bagi PNS? Bagaimana jika parcelnya di ubah menjadi cek atau transfer uang ke rekening? Dapatkah aturan itu melacak parcel dalam bentuk ini?
Atau haruskah aku malu karena Putri Indonesia yang dikirim ke ajang Miss World lagi-lagi gagal karena tidak bisa berbahasa Inggris...? Padahal sudah di bela-belain memperlihatkan auratnya ke seluruh dunia. Bahkan 10 besarpun tak masuk.
Sebuah pertanyaan yang sederhana dari seorang teman , namun memerlukan jawaban yang tak sesederhana pertanyaannya. Terima kasih.