June 25, 2021

BUKAN REVIEW FILM: INFINITE (2021)

INFINITE (2021)
----
Nonton film ini gara-gara yang main Mark Wahlberg. Saya suka Mark sejak dia main di film 'The Italian Job'. Kabarnya, film Infinite ini akan tayang di bioskop Indonesia mulai bulan September 2021. Di jaman era 4.0 sekarang, rasanya tak perlu dibahas bagaimana versi beningnya telah bisa dinikmati saat ini.
Ada 3 kejutan yang membuat saya senang menonton film Infinite ini. 

✔️Pertama; Infinite ini bercerita tentang reinkarnasi, tema yang biasanya saya temui di film India —lengkap dengan lagu, tarian, dan segala kelebayannya. Dan bisa dipastikan, reinkarnasi ala film Hollywood jauh lebih keren.

✔️Kedua, adegan kejar-kejaran mobilnya lebih keren dan masuk akal dibandingkan dengan F9 yang bertema balapan itu. Saya penggemar Fast Farious, tapi saya gak suka F9 —apalagi F4 yg dari Taiwan itu. 🤫 Abaikan yang F4!

✔️Ketiga, Ada Jakarta, Indonesia, dan bahasa Indonesia di film Infinite. Meski tak lebih dari 5 menit, jiwa primodial saya cukup terhibur. 

Ceritanya sendiri mirip-mirip film Highlander. Bedanya, Infinite tentang manusia yang punya kelebihan bisa reinkarnasi secara terus menerus setelah kematiannya. Mereka ini disebut Infinite. Konon, ada 500 orang yang memiliki kelebihan ini. Mereka terpecah menjadi 2 golongan/kelompok;

✅Kelompok Believe; mereka menganggap kelebihan ini sebagai anugerah dari Tuhan, sehingga memiliki tanggung jawab moral untuk membuat dunia menjadi semakin lebih baik.

✅Kelompok Nihilis; mereka menganggap kelebihannya ini sebagai kutukan dari Tuhan untuk menyaksikan kehancuran-kehancuran dunia hingga kiamat nanti. Oleh karena itu kelompok Nihilis ini ingin menghentikan proses reinkarnasi. Mereka capek berulang-ulang menjalani hidup yang sama di tubuh yang berbeda.

Sepanjang 1 jam 46 menit kita akan menyaksikan perseteruan 2 kubu ini. Seru!

#bukanreview #film #infinite

June 25, 2018

NGAKAN NYAMAN VS NYAMAN NGAKAN


"Cong, ngakan nyaman so nyaman ngakan riyah tak padeh.. mangkanah jek kor sokkor ngakan. Tegguh gelluh, kakanan riyah nyaman e kakan apah ma tak nyamanan ngakan?" Begitu nasehat sesepuh saya ketika saya sowan dalam rangka Idul Fitri tahun ini.

Makan (Ngakan, bahasa Madura) adalah aktivitas setiap mahluk hidup untuk bertahan hidup. Bahkan dari cara makan dan jenis makanannya, mahluk hidup ini dikelompokkan. Dan Manusia adalah mahluk Pemakan Segala.

Banyak cara dilakukan manusia hanya untuk menghasilkan makanan lezat untuk disantap. Tak heran, halaman web yang berisi aneka jenis resep makanan mendapatkan banyak kunjungan dan di share hingga jutaan kali. Semua hanya demi membagi pengetahuan tentang bagaimana membuat makanan yang enak dan lezat.

Tak terkecuali masyarakat tempat saya tumbuh dan berkembang, Madura. Bagi orang Madura ada perbedaan besar antara 'Ngakan Nyaman' dengan 'Nyaman Ngakan'. Perbedaan ini akan mempengaruhi cara pandang bahkan cara menjalani hidup yang berbeda.

'Ngakan Nyaman' kalo diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti Memakan Makanan Enak dan Lezat. Orang yang memiliki pandangan ini akan selalu berusaha untuk mendapatkan makanan lezat. Segala upaya dilakukan, entah bagaimana caranya, yang penting bisa mendapatkan makanan lezat.

Berbeda dengan 'Nyaman Ngakan' - kalo diterjemahkan artinya nafsu untuk makan sedang enak (nyaman). Orang yang menganut pandangan ini berpendapat bahwa semua makanan itu enak dan lezat, yang penting nafsu makannya sedang dalam kondisi prima. Tak peduli makanan apapun yang sedang dihadapinya, nasi jagung, nasi singkong, dengan atau tanpa lauk sekalipun, jika sedang nafsu makan pasti akan terasa enak.

Dari sedikit paparan diatas dapat disimpulkan bahwa 'Ngakan Nyaman' akan membuat kita berperilaku untuk terus berburu makanan lezat. Sedangkan 'Nyaman Ngakan' meyiratkan tentang kepasrahan untuk menerima keadaan.

Mana yang lebih baik?

April 23, 2018

ENAK NO BRO.... TERRRR !!!!

Kalimat ini lagi ngetren di Nitnut Radio. Pencetusnya siapa lagi kalo bukan DJ Senior kita; Ken Sadewo Yooaryaan.. 😄😄😄.

'Cletukhan' yang sengaja dilontarkan oleh sang DJ saat lagu (bollywood) berkumandang ini spontan dan selanjutnya sengaja dilakukan. Maksud dan tujuannya adalah untuk memberi warna yang berbeda pada model siaran ala Nitnut.

Disamping sebagai ciri khas, Nitnut Radio memang sengaja mengusung kearifan lokal (dari masing-masing DJ) dalam hal penyiaran.

Dari pengalaman traveling ke berbagai wilayah Nusantara, hampir semua siaran radio yang saya dengarkan menggunakan bahasa Indonesia dengan dialek Jakarta. Dan ini yang selalu saya keluhkan.. lah wong Nusantara ini kaya sak kaya-kayanya dalam hal bahasa dan dialek, lah kok siaran radionya semuanya berbahasa Indonesia dengan dialek Jakarta? Lalu dimana letak kekayaan dan keragaman bahasa daerah kita?

Saya haqqul yakin, cara berbahasa Indonesia orang Jawa Timur pasti berbeda dengan cara orang Jawa Tengah, apalagi dengan orang Kalimantan atau Papua. Lah wong sesama Jawa Timurnya saja dialek bahasa Indonesianya berbeda, kok.

Gak percaya? Dengar saja kalo orang Madura (yang masih berada di Provinsi Jawa Timur) berbahasa Indonesia, pasti berbeda dengan cara orang Surabaya berdialek bahasa Indonesia. Padahal wilayahnya hanya terpisah selat sejauh 3000 Meter.

Di Nitnut Radio, semua DJ dibebaskan berbahasa apa saja dengan dialek apa saja. Mbak Aida yang dari Surabaya bebas berbahasa Suroboyoan.. dengan clathuan khasnya.. Mas Ken yang Orang Malang, monggo berbahasa Malangan dengan clethukan khasnya, Yusuf Akbar yang dari Jombang, dipersilahkan mumbul ala Jombangannya.. Dan saya? Bo abbo.. tak usah dibahas ya.. nanti gak pes-kempes, tak iya?

Tapi jangan salah, konon menurut informasi intelegen yang patut diragukan kebenarannya, lembaga pemberantas korupsi di negeri ini dibuat dan dibentuk atas inisiatif orang Madura, makanya lembaga ini diberi nama Ka PeKa.

kembali ke topik Nitnut Radio, semua DJ nya bebas berekspresi dan berbahasa apa saja, yang penting masih bisa dimengerti oleh pendengar Nitnut dari golongan mahluk yang disebut Manusia.

Lagu-lagunya boleh saja 100% Bollywood, ini hanya masalah selera dan segmentasi Nitnut. Namun bahasa pengantarnya tetap membawa misi kearifan lokal yang akan terus menjelajah ruang dengar global.

Mau dengerin Nitnut Radio?

Download aja di Playstore.

April 19, 2018

Bollymania - I am not Freak (2)

Setelah sekian lama (gak lama juga sih.. cuma ngaku-ngaku aja biar gak keliatan cupu..) berkecimpung dalam komunitas Bollymania, saya bisa mengidentifikasi beberapa temuan yang berakibat pada mengapa "mereka" disebut Freak, Gak Gaul, Aneh, Kuper, Alay, dan sebutan lainnya yang pasti bikin nyesek di dada..

Berikut temuan saya :

1. Terjebak Masa Lalu

Kebanyakan dari mereka, selalu terkenang dengan film-film lama yang telah mereka tonton. Alasannya macam-macam, entah karena lagunya, artisnya, atau memory saat mereka menontonnya di bioskop.

Gak salah juga sih sebenarnya. Memang setiap orang pasti punya kenangan terhadap sesuatu. Yang jadi masalah adalah ketika mereka tertutup pada sesuatu yang baru, dan menganggap bahwa yang baru itu jelek.

Parahnya lagi, selalu dibanding-bandingin sama yang lama. Inilah yang seringkali menyebabkan mereka bertengkar, ngotot bahwa kesukaan mereka yang lebih baik. Padahal subyektif banget, kan?

2. Senioritas

Ini ada kaitannya dengan temuan yang pertama. Mereka yang suka pada film-film jadul kebanyakan sudah lebih tua dari segi umur. Kalau seandainya yang lebih tua ini bisa mengayomi pada generasi yang lebih muda, tentunya tak akan ada gesekan antar generasi.

Mengayomi disini dalam artian ikut serta mendukung kegiatan generasi yang lebih muda. Minimal memberi masukan atau sekedar saran untuk perbaikan. Yang terjadi malah tidak demikian. Anggapan mereka, generasi sekarang malah dianggap ingin menggeser keberadaan mereka.
Hufff... ngapain juga mau mengeser? Emangnya organisasi? Atau partai?
Ini hanya komunitas, Bung!!!

3. Tertutup
4. Fanatisme Buta
5. Kebanggaan Semu

October 26, 2015

Masa Lalu

Pada sebuah obrolan bersama teman-teman sehobby, muncul sebuah pertanyaan yang cukup mengusik saya untuk memikirkannya. Pertanyaannya begini "Apa manfaat mengulang-ulang kisah masa lalu kita kepada orang lain?"

Langsung saja saya jawab, tidak ada manfaatnya sama sekali, selain menunjukkan bahwa si penutur kisah masa lalu itu ingin menujukkan bahwa dirinya sudah TUA.

"Kenapa bisa begitu? Bukankah kita bisa belajar sesuatu dari kisah masa lalu seseorang?" Tanya teman saya di sebelah.

"Karena di ulang-ulang" jawab saya singkat.

Jika sekali duakali, mungkin kita bisa mengambil hikmah dari sebuah kisah masa lalu yang diceritakan oleh si penutur kisah. Namun, ketika kisah tadi di ulang-ulang hingga berkali-kali, pendengar kisah pasti akan bosan. Saat rasa bosan mencapai puncaknya, pilihannya cuma dua, meninggalkan si penutur kisah, atau menyatakan kebosanannya secara terus terang.

Kita tidak sedang berada di era yang mengharuskan kita menghafal sesuatu agar lulus ujian. Generasi sekarang cukup membuka Google untuk mengerjakan tugas sekolah. Semuanya serba praktis, instan dan cepat. Jika sudah seperti ini, masih perlukah menghafal sesuatu dengan cara mengulang-ulang?