August 7, 2010

Ketika Sarung Dianggap Merusak CITRA

Tags

Pemerintah Kabupaten Bangkalan, Madura melarang kepala desa memakai sarung saat jam kerja. Alasannya adalah pemakaian sarung dianggap akan memberikan citra buruk bagi korps pegawai. (Surya, 07/08/2010).

Citra Buruk? Hanya karena memakai sarung?

Menurut Wikipedia ; Sarung merupakan sepotong kain lebar yang dijahit pada kedua ujungnya sehingga berbentuk seperti pipa/tabung. Ini adalah arti dasar dari sarung yang berlaku di Indonesia atau tempat-tempat sekawasan. Dalam pengertian busana internasional, sarung (sarong) berarti sepotong kain lebar yang pemakaiannya dibebatkan pada pinggang untuk menutup bagian bawah tubuh (pinggang ke bawah).

Konon, sarung menjadi simbol perlawanan rakyat Jawa Timur terhadap Belanda yang terbiasa mengenakan baju modern seperti jas. Hingga kini, pemakai sarung identik dengan orang Madura.


Seiring perkembangan jaman, sarung telah menjadi bagian dari identitas Muslim di Indonesia. Bahkan, sarung juga identik dengan santri yang “mondok” di pesantren. Hampir di semua pesantren tradisional, para santri memakai sarung untuk semua kegiatan belajar mengajar, maupun aktivitas sehari-hari, termasuk selimut untuk tidur.

Selain digunakan untuk ibadah, sarung sangat nyaman dikenakan saat menjalankan berbagai aktivitas. Bentuknya yang seperti pipa besar, sangat mudah di modifikasi saat dipakai. Anda cukup mengalungkan sarung di pundak (mirip si Unyil), atau diikatkan di pinggang, bahkan juga bisa dijadikan topeng ala ninja… selain itu, saat mencuci sarung lebih mudah dibanding mencuci pakaian sejenis Celana, apalagi yang berbahan Jeans. fleksibilitas sarung inilah yang menjadi alasan kenapa hampir semua orang di Jawa Timur, khususnya Madura lebih suka mengenakan sarung dalam beraktivitas.

Kalau berbicara masalah “citra”, apakah benar pemakaian sarung oleh kepala desa di Bangkalan Madura akan memberikan citra buruk bagi korps pegawai? Pernyataan ini harus dikaji dulu sebelum disimpulkan.
Menurut saya, tidak ada korelasi antara pakaian kerja dengan kinerja seseorang pada saat bekerja. Justru, ketika kita merasa nyaman dengan apa yang kita pakai, kenyamanan ini akan memberikan kontribusi positif terhadap kinerja kita.

Pernah suatu ketika, saya bekerja pada perusahaan asal Canada, manajemennya tidak pernah mempermasalahkan pakaian kerja. Pakai kemeja, T-shirt, Celana Pendek, atau apapun gak masalah, yang penting kerjaan selesai pada waktunya.

Kembali ke masalah Sarung, Citra, dan Korps Pegawai, usut punya usut penyebab larangan menggunakan sarung tidak ada hubungannya dengan sarung. Sebab utamanya hanya karena Kepala Desa menerapkan “sistem administrasi jalanan”. Disebut demikian karena kemana-mana kepala desanya membawa stempel. Hal itu dilakukan untuk memudahkan administrasi. Jadi, tujuan membawa stempel sebenarnya untuk memberikan pelayanan prima bagi warga desanya. Apakah ini salah? Selama stempel tidak disalahgunakan, ini bukan kesalahan.

Aturan pelarangan penggunaan sarung bagi kepala desa di Kabupaten Bangkalan menurut saya tidak tepat. Masalah citra korps pegawai tidak serta merta akan membaik jika kepala desa tidak menggunakan sarung saat jam kerja. Citra Korps Pegawai akan baik jika para pegawai telah memberikan pelayanan publik yang prima bagi warga masyarakat, dan tidak KKN.

Semoga aturan itu dikeluarkan bukan atas dasar pepatah plesetan “jangan salahkan bunda mengandung, salahkan bapak yang pakai sarung”.


Bagikan/Simpan/Bookmarks


Artikel Terkait