October 30, 2008

Bumiku Indonesiaku

Tags


Dulu, aku pernah membayangkan untuk tinggal di sebuah hutan yang terpencil jauh dari hingar bingar keramaian kota. Tentunya hal itu sangat menyenangkan, sebab aku bisa hidup tenang dan damai tanpa harus terganggu kemacetan, polusi udara, polusi suara, bahkan polusi iklan yang ada di setiap sudut kita memandang.

Meski demikian, tempat tinggalku harus dilengkapi internet untuk mengakses informasi yang beredar di dunia. Sehingga aku tetap bisa mengikuti perkembangan yang terjadi di dunia ini. Melihat Valentino Rossi yang jadi juara Moto GP 2008, atau melihat Indonesia yang jadi Jawara di Asean Beach Game. Aku juga bisa mendownload buku BSE untuk mengajari anak-anakku kelak, chatting dengan sahabatku, posting ide-ideku di blogger, mendownload MP3 dan film Laskar Pelangi yang sedang fenomenal, atau bahkan jualan E-book soal-soal PNS di internet.

Itu semua hanya khayalanku saja. Ketika aku kembali ke alam rasionalitas, sepertinya susah juga jika harus tinggal di tengah hutan dengan semua fasilitas yang ku bayangkan itu. Untuk menyalakan komputer saja aku memerlukan energi listrik, untuk koneksi internetnya aku memerlukan sinyal dari satelit yang biayanya sangat mahal. Belum lagi untuk keperluan lainnya seperti printer, kertas, tinta atau sparepart ketika komputerku bermasalah. Tentunya diperlukan biaya yang tidak murah untuk sistem informasi, transportasi dan distribusi yang komplek agar kebutuhanku terpenuhi.

Ternyata….

Kehidupan seperti yang aku bayangkan itu telah ada di bumi Indonesia ini sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu hingga sekarang. Ini aku temui ketika mengunjungi seorang rekanan di pedalaman Kalimantan. Tempat itu bukan rumah

, tapi kantor. Sebuah Kantor!

Meski kantor itu berada di tengah hutan, kantor tetaplah kantor. Lengkap dengan semua fasilitas kantor yang ada, seperti telepon, komputer, internet, dan segala kebutuhan kantor. Bahkan, dari kantor ini pun bisa memantau tekanan ban dari semua kendaraan yang dioperasikan oleh karyawannya.

Jangan harap seorang karyawan bisa berhenti bekerja lebih dari 5 menit di saat jam kerja, karena semuanya terpantau di radar kontrol. Semua orang bekerja di bawah kendali dengan sistem dan prosedur operasional yang jelas, pasti, dan tidak ada toleransi. Kegiatannya tersusun dalam schedule yang padat, bahkan untuk makan dan tidur. Semuanya dijalankan secara konsisten, ketika ada seseorang yang melanggar prosedur, langsung diberi SP 1 atau bahkan dipecat sesuai dengan tingkat pelanggarannya.

Tidak menggunakan sabuk pengaman ketika mengendarai mobil, adalah hal yang wajar di bumi Jawa. Tapi tidak di sini. Pelanggaran itu termasuk pelanggaran berat dan langsung di pecat saat itu juga tanpa mekanisme SP 1. Karena konsisten, aturan itu dipatuhi oleh semua karyawan. Sementara di Jawa, perlu kampanye 2 tahun lebih untuk sosialisasi penggunaan sabuk pengaman. Itupun belum berhasil.

Kantor itu berada di tengah hutan yang jauh dari pusat keramaian kota. Di puncak sebuah bukit, semua aktifitas kantor dijalankan di sana. Kota terdekat saja jaraknya hampir 50 km. Konon, kota terdekat itu baru berdiri 8 tahun yang lalu. Kota itu ada karena banyak karyawan perusahaan yang enggan tinggal di kamp, sehingga peradaban baru muncul di situ. Dari ibu kota provinsi, diperlukan 8-10 jam perjalanan darat untuk menuju kota ini.

Tidak semua orang bisa masuk ke kantor itu, prosedur schreningnya ketat. Bahkan lebih ketat dari schrening yang ada di bandara. Untuk menuju kantor, setiap karyawan dijemput oleh bus yang khusus di sediakan untuk antar jemput. Perjalanan menuju kantor melalui hutan belantara. Jalan yang masih makadam adalah jalur transportasi satu-satunya. Meski makadam, jalannya rata seperti jalan tol yang membentang dari surabaya – gempol, sehingga kendaraan bisa melaju kencang hingga di atas 100 km/jam.
Ups…! Anda tidak bisa ngebut seenaknya. Di setiap persimpangan jalan, anda harus berhenti sejenak, toleh kanan toleh kiri, memastikan tidak ada kendaraan dari arah lain yang juga akan lewat. Sebab di sana banyak Dump Truck yang lalu lalang mengangkut hasil tambang. Tentunya anda tidak ingin dilindas dump truck yang rodanya saja setinggi Rumah Type 36, kan?

Sebagian dari hutan itu sudah tidak lagi berwujud hutan. Hanya tanah-tanah gundul bekas ditambang seluruh isi di bawahnya. Cara menambangnya pun sudah tidak lagi tradisional. Sekali keruk, 40 ton barang tambang langsung terangkat. Dari loader langsung dipindahkan ke dump truk yang telah antri menunggu untuk mengangkutnya ke tempat penampungan. Kembali loader mengeruk isi perut bumi, begitu seterusnya. Proses ini berlangsung tidak lebih dari 3 menit. Padahal, tempat ini bekerja 24 jam nonstop dan telah berlangsung sejak 20 tahun silam.

Mari kita berhitung. Jika tiap 3 menit berhasil mengeruk 40 ton, maka dalam 1 jam bisa menghasilkan 800 ton. Dalam sehari bisa menghasilkan 19.200 ton. Hitungan ini baru 1 loader. Jika ada 10 loader dalam 1 lokasi, maka dalam sehari bisa menghasilkan 192.000 ton. Dalam setahun menghasilkan 70.080.000 ton. Jika telah berlangsung 20 tahun, maka perut bumi lokasi itu telah dikeruk sebanyak 1.401.600.000 ton WOW…..! angka yang fantastik…!

Jika harga batubara per kilo Rp. 1.000,- maka dalam satu jam bisa menghasilkan Rp. 800 Milyar, setahun bisa menghasilkan Rp. 70 Triliun. Dalam 20 tahun, hanya menghasilkan Rp. 1.400 Triliun.

Ini bukan isu baru, tapi aku sangat kaget dengan angka hasil hitunganku itu. Lokasi ini diprediksi masih bisa dikeruk isinya hingga 30 tahun yang akan datang. Sekali lagi, WOW…!

Gambaran di atas baru di satu lokasi, padahal masih banyak lokasi lain di bumiku Indonesia ini. Bayangkan jika Freeport di Irian Jaya yang mengeruk Emas, dengan cara dan sistem yang di gunakan di atas, berapa kekayaan negara yang telah dikeruknya?

Begitu kaya bumiku Indonesia… Harusnya, tidak ada lagi 80 juta penduduk negeri ini yang hidup di bawah garis kemiskinan.

Artikel Terkait