April 15, 2011

JENIUS

Tags

JENIUS = Jeni in Us.

Seorang yang jenius, adalah seseorang yang menemukan jin di dalam dirinya. Seperti halnya kisah Aladin yang menemukan jin di dalam botol, sehingga hidupnya berubah drastis. Maka kita harus menemukan jin di dalam diri kita masing-masing. Jin di sini bukan berarti mahluk halus sejenis wewe gombel, jailangkung, jenglot, apalagi suster ngesot. Jin yang saya maksud adalah kemampuan terpendam yang kita miliki untuk mengubah hidup kita.

Kisah Aladin dan Jin Botol juga telah di plesetkan dalam salah satu iklan rokok, dimana si Aladin ketika menemukan botol dan membukanya, maka Jin itu keluar dan memberikan 3 permintaan. Demikian juga ketika kita menemukan jin di dalam diri kita. Maka, kita akan dihadapkan pada 3 pilihan ;

  • Apakah kemampuan yang kita miliki akan digunakan untuk diri sendiri?
  • Apakah kemampuan yang kita miliki akan digunakan untuk orang-orang yang kita cintai?
  • Atau apakah kemampuan yang kita miliki akan digunakan untuk semua orang yang membutuhkan kemampuan kita?

Dunia ini telah penuh dengan orang-orang jenius. Bahkan masing-masing dari kita adalah jenius. Masalahnya, sebagian besar dari kita mengunci rapat-rapat kejeniusan kita di dalam botol. Terlalu banyak dari kita yang memilih menggunakan kejeniusan ini hanya untuk diri sendiri atau untuk mereka yang kita cintai. Ingat, Jin akan keluar dari dalam botol dan menunjukkan keajaibannya ketika kita memilih pilihan ketiga. Keajaiban akan terjadi ketika kita memilih memanfaatkan kejeniusan kita untuk disumbangkan kepada setiap orang yang membutuhkan. Hal ini senada dengan apa yang ditulis Ustad Mansyur dalam buku “Keajaiban Sedekah”.

Mari kita mencari Jeni-in-us dan biarkan keajaiban itu mengalir keluar dari botolnya.


Dikutip dari : Rich Kid Smart Kid



Bagikan/Simpan/Bookmarks


April 8, 2011

Crazy little Thing Called Love (2010)

Tags

 

 

 

Nam: " All of us have someone who is hidden in the bottom of the heart. When we think of him, we will feel like umm… always feel a little pain inside, but we still want to keep him, even though I don't know where he is today, what is he doing, but he is the one who makes me know this, a little thing called LOVE "

Ada yang bilang masa-masa SMU adalah masa-masa terbaik dalam hidup kita. Masa-masa dimana kita belajar mengenal arti sebuah persahabatan sejati. Masa-masa dimana gejolak hormon pubertas mengiring kita untuk mulai tertarik dengan lawan jenis, merasakan sensasi yang orangtua kita biasa menyebutnya dengan istilah 'Cinta Monyet". Yup, mungkin kurang lebih seperti itu juga yang dialami Nam (Pimchanok Lerwisetpibol). Nam bisa jadi mewakili sebagian dari kita,  siswa/siswi yang menempati kasta terbawah dalam urusan penampilan. Ia seorang gadis dekil, dengan kacamata dan kawat gigi menghiasi wajahnya yang pas-pasan. Dengan gambaran  'kumuh' seperti itu sepertinya terlalu muluk-muluk jika Nam kemudian bermimpi besar  untuk dapat menaklukan hati  Chon (Mario Maurer), siswa senior yang notabene paling tampan dan populer seantero sekolahnya.  Masalahnya apa dengan segala usaha keras yang dilakukan Nam bersama ketiga sahabatnya, termasuk dengan merubah penampilan fisiknya dapat menarik perhatian pangeran tampannya itu ?
Sungguh iri rasanya melihat bagaimana perfilman Thailand mampu berkembang dinamis dengan sangat baiknya akhir-akhir ini. Jika sedekade lalu negeri gajah putih ini hanya mampu berbicara banyak melalui sugguhan horror dan aksi baku hantamnya. Namun seiring dengan berjalannya waktu, perlahan namun pasti kini sienas-sineas mereka mulai berani menggeser halauan  ke genre komedi romantis atau biasa kita sebut romcom yang notabene masih tergolong baru disana, lihat saja   Bangkok Traffic Love Story (2009) atau Hello Stranger (2010). Hebatnya lagi tidak kesuksesan tren baru tersebut tidah hanya ditanggapi positif oleh masyarakat lokal, namun juga diapresiasi banyk oleh para penonton di belahan Asia Tenggara lain, termasuk Indonesia, negara yang saat ini lagi didera dengan banyaknya sugguhan tontonan memalukan.
Kembali ke Crazy little Thing Called Love. Jujur saja film besutan duo sutradara Puttipong Pormsaka Na-Sakonnakorn dan Wasin Pokpong ini sama sekali tidak menawarkan premis baru. Tema 'Cinderella story', 'from nothing to something' atau apalah anda menyebutnya yang kemudian dibalut dengan aroma percintaan remaja jelas bisa dibilang usang, banyak ditemui di puluhan judul film Hollywood, bahkan lihat saja sinetron-sinetron 'tercinta' kita. Lantas apa yang kemudian menjadikan film ini masih begitu enak untuk dinikmati oleh penontonnya, khususnya buat mereka para penonton muda? Jawabannya sederhana, karena Puttipong Pormsaka Na-Sakonnakorn dan Wasin Pokpong sukses mengemasnya dengan sangat bersahabat, sederhana dan membumi, membuat anda para pemuda dan yang pernah muda dan merasakan pahit manisnya cinta monyet akan kembali mengenang masa-masa indah itu tanpa harus  banyak disugguhkan konflik-konfik yang terlampau pelik dan berlebihan di luar batasan anak-anak SMU, apalagi terlihat jika kelakuan siswa-siswi Thailand ternyata tidak berbeda jauh dengan para muda mudi Indonesia menjadikan Crazy little Thing Called Love terasa familiar, kecuali mungkin efek dari kehadiran Mario Mauer yang kelawat tampan, atau guru bahasa Inggris yang keterlaluan genitnya yang terihat terlalu mengada-ada ha..ha..ha.
Jujur saja saya kurang begitu bisa menikmati paruh pertama film ini. Selain kelewat cheesy tidak ada sesuatu yang terlampau istimewa, disini, termasuk guyonan-guyonannya yang hanya mampu membuat saya sedikit tersenyum simpul. Apalagi momen transformasi Nam yang seharusnya bisa lebih didramatisir, ternyata hanya lewat begitu saja, sampai-sampai memaksa saya harus menekan tombol rewind kalau-kalau saya tertinggal menyaksikan momen menarik tersebut. Tapi bagaimanpun saya harus mengacungan jempol pada para tim make-up yang sanggup membuat wajah  cantik Pimchanok Lerwisetpibol bisa menjadi sedekil itu.
Menginjak paruh kedua bisa dibilang segalanya menjadi lebih baik. Ya, memang kisah terkesan menjadi lebih serius dan melankolis, meninggalkan segala kelucuannya dibelakang. Mengajak para penontonnya untuk turut melebur dalam kegundahan yang dirasakan Nam kepada Chon. Tidak peduli jika Nan sudah berhasil tampil sempurna dari segi fisik, toh tidak membuat kisah cintanya menjadi lebih mulus, karena bagaimanapun Nan tetap adalah Nan, gadis lugu yang masih belajar bagaimana merasakan cinta. Menariknya lagi meskipun pada akhirnya kisah cinta ini akan berakhir seperti yang sudah diduga, namun Puttipong Pormsaka Na-Sakonnakorn dan Wasin Pokpong sepertinya tidak ingin mengakhirinya menyudahinya begitu saja dengan menyelipkan kejutan manis nan sentimentil di penghujung kisahnya.
Crazy little Thing Called Love membuktikan bahwa tidak selamanya ke-chessy-an dan ke-klise-an itu menjadi sebuah 'kejahatan' besar, yang terpenting selama sang sutradara mampu mengemasnya dengan baik, menarik dan mampu memberikan hiburan kepada penontonnya, itu sudah lebih dari cukup untuk membuat Crazy little Thing Called Love menjadi sebuah kisah percintaan remaja yang manis.



View article...